Senin, 08 Februari 2016

Pengertian masyarakat madani



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Masyarakat Madani
      Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
      Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Pengertian Masyarakat Madani menurut para ahli:
Hefner menyatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat modern yang bercirikan demokratisasi dalam beriteraksi di masyarakat yang semakin plural dan  heterogen. Dalam keadan seperti ini masyarakat diharapkan mampu mengorganisasi dirinya, dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Istilah madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Intinya, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna atau bermakna ganda yaitu: demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparansi, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsistensi, memiliki perbandingan, komparasi, mampu berkoordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, mengakui emansipasi, dan hak asasi, sederhana, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfah
B. Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).

C. Masyarakat Madani dalam Pandangan Islam
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni: agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Secara etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua, “masyarakat berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dan civilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30).
Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1).
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusiditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas  seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.
Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah.
Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara.
Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar yang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulai terbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah memiliki struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.
  B. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Karakteristik ini yang merupakan prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat madani tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang terintegral dan menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Arendt dan Habermas, antara lain :
1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan
umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis, merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
3. Toleran, merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhenikaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan,
5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

C. Ciri-ciri Mayarakat Madani
Masyarakat madani memiliki ciri-ciri dan karakteristik sebagai berikut :
a.  Free public sphere (ruang publik yang bebas)
Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta memublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta memublikasikan informasi kepada publik.
b.Demokratisasi
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani.
c.Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
d.Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.
e.Keadilan Sosial (Social justice)
Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
f.Partisipasi Sosial          
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.
g.Supermasi hukum
Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.
f. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat  melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
g. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
h. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
i. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena   keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
j. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu  mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
k. Adanya pemisahan kekuasaan
l. Adanya tanggung jawab dari pelaksana kegiatan atau pemerintahan.

D. Peran Umat dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Demokrasi sendiri adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi.
Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab, terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki, sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya, dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik,  maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
   Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanyakesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.
DAFTAR PUSTAKA

Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta.

Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.


Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung.

Masykuri Abdillah, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/        
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Kholidah, Nur, dkk. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam. Respons Terhadap Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum. Mohon maaf diinfokan bahwa penulis Dari Civil Society Ke Civil Religion adalah penulis tunggal Endang Rudiatin Sosrosoediro, bahwa Masykuri Abdillah tidak termasuk penulis. Terima kasih atas perhatiannya.

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum mohon maaf diberitahukan bahwa penulis Dari Civil Society Ke Civil Religion adalah penulis tunggal, bahwa Masykuri Abdillah bukan termasuk penulis. Terima kasih atas perhatiannya.

    BalasHapus