BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT
memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’
ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan)
di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Pengertian Masyarakat Madani menurut para ahli:
Hefner menyatakan bahwa
masyarakat madani adalah masyarakat modern yang bercirikan demokratisasi dalam
beriteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadan
seperti ini
masyarakat diharapkan mampu mengorganisasi dirinya, dan tumbuh kesadaran diri
dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi
dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Istilah madani menurut
Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy
berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau
membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya
beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan
demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti.
Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997) kerapkali dipandang telah
berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang
pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa
Timur.
Intinya, berdasarkan
pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna atau bermakna
ganda yaitu: demokratis, menjunjung tinggi
etika dan moralitas, transparansi, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsistensi, memiliki perbandingan,
komparasi, mampu berkoordinasi,
simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, mengakui
emansipasi, dan hak asasi, sederhana,
namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Dengan mengetahui
makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami
sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal
di suatu kota atau berfah
B.
Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan
penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali
mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia
oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani
merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad.
Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan
pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil”
adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang
dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil
society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah
civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan
Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang
mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja
(Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil
Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah
istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”.
Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan
masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di
masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan
masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan
modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran
atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu
Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang
berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang
beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil
society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.
Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan
“the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and
the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
C. Masyarakat Madani
dalam Pandangan Islam
Dalam perspektif Islam, civil society lebih
mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya
diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-madinah
yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung
tiga hal, yakni: agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama
merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah
hasilnya.
Secara etimologis, madinah adalah derivasi dari
kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah
berarti kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua,
“masyarakat berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari kata tamaddun
atau madaniyah
yang berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility
dan civilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani
(Sanaky, 2002:30).
Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah
komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul
Allah SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi
Muhammad SAW tersebut identik dengan civil society, karena secara
sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model
masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui
oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond
of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya
terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin
Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman
dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh
ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya
(Hatta, 2001:1).
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut,
dengan cara: pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid
sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial
melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy
dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga,
membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan
dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat
pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat,
merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di
jalan Allah).
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang
dibangun oleh Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid.
Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk
Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin
Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur
masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam,
Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi—ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak
(polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi
SAW di
atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas
kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam
beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan
keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun,
dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari
komunitas masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah
diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan
yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi
sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW
bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar
masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang
merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama
yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq
al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah
manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi
satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di
dunia.
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya
diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama
dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan
secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu
kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah)
antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak
membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu
mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup
dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua,
mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan
kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad SAW
sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam
kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut
Piagam Madinah yang berlaku atas seluruh
individu dan setiap kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat
berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang
terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan
kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh
karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan
suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan
sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapat
mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya
unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial
atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum
al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah
merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk
Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu
menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang
menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.
Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak
menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan praktik membentuk satu umat dari
berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru,
yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang
penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari
kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk
baru yang disatukan oleh Piagam Madinah.
Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran
kelompok-kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan,
sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin
banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang
menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur
Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada
Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak
ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara.
Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan
kekuasaan besar yang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru
meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan
kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di
samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan
secara musyawarah.
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan
“nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi
syariat. Namun peran
masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal
itu mengindikasikan mulai terbangunnya
masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen
kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi,
setelah masa al-Khulafa’
al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami
penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat),
melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya
lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan,
yakni dari masa al-Khulafa’
al-Rasyidun sampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah
memiliki struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan,
yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam
berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat
madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi
dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak.
Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar
bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar
bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.
B. KARAKTERISTIK
MASYARAKAT MADANI
Karakteristik
ini yang merupakan prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat madani
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang
terintegral dan menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun
karakteristiknya, menurut Arendt dan Habermas, antara lain :
1. Free Public Sphere,
adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan pendapat. Pada
ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Sebagai sebuah
prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam
sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah satu
bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik
yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya
pembungkaman kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya yang
berkenaan dengan kepentingan
umum oleh penguasa yang tiranik dan
otoriter.
2. Demokratis,
merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana masyarakat
madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh
untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya.
3. Toleran,
merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk menunjukan
sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang
lain.
4. Pluralisme,
adalah pertalian sejati kebhenikaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan
pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain
melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan,
5. Keadilan
Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan.
C. Ciri-ciri Mayarakat
Madani
Masyarakat
madani memiliki ciri-ciri dan karakteristik sebagai berikut :
a. Free public sphere
(ruang publik yang bebas)
Ruang
publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul serta memublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta
memublikasikan informasi kepada publik.
b.Demokratisasi
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani.
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani.
c.Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
d.Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.
e.Keadilan Sosial (Social justice)
Keadilan
yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak
dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
f.Partisipasi Sosial
Partisipasi
sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik bagi
terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi
apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.
g.Supermasi hukum
Penghargaan
terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus
diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh
kebenaran di atas hukum.
f.
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
g.
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
h.
Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
i.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan
terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
j.
Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
k.
Adanya pemisahan kekuasaan
l.
Adanya tanggung jawab dari pelaksana kegiatan atau pemerintahan.
D. Peran Umat dalam
Mewujudkan Masyarakat Madani
Salah
satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan
demokratisasi pendidikan. Masyarakat
madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai
tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi
dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul
inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa.
Untuk mewujudkan masyarakat
madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan.
Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan
beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi
pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di
dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks
demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik.
Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan
menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.
Demokrasi sendiri adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan
rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu
fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi
kepentingan rakyat.
Dengan
demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk
rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan
demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis
dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi.
Generasi
penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu,
mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan.
Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta
didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara
bertanggung jawab, turut bertanggung jawab, terbiasa mendengar dengan baik dan
menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi,
terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki, sama-sama merasakan suka
dan duka dengan masyarakatnya, dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika
generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan
yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak
boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa
mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati
nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan
penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Upaya ke
arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan. Dengan komunikasi
struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan
terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanyakesejahteraan umat
maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang
signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang
sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan
bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang
dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam
mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu.
Selain memahami apa itu masyarakat
madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat,
khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung
kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang
dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula
hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang
kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh
karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui
latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
Maka diharapkan kepada kita semua baik
yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri
kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas
sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya
zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan
baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.
DAFTAR PUSTAKA
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani.
Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta.
Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi
Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan.
STKS Bandung: Bandung.
Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani
Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung.
Masykuri Abdillah, Endang Rudiatin.
2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma Pendidikan Islam :
Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Kholidah, Nur, dkk. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam. Respons
Terhadap Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.
Assalamu'alaikum. Mohon maaf diinfokan bahwa penulis Dari Civil Society Ke Civil Religion adalah penulis tunggal Endang Rudiatin Sosrosoediro, bahwa Masykuri Abdillah tidak termasuk penulis. Terima kasih atas perhatiannya.
BalasHapusAssalamu'alaikum mohon maaf diberitahukan bahwa penulis Dari Civil Society Ke Civil Religion adalah penulis tunggal, bahwa Masykuri Abdillah bukan termasuk penulis. Terima kasih atas perhatiannya.
BalasHapus